Selasa, 09 Desember 2008

Ketika Pipi Sakit

Mimi menengadahkan kepalanya. Menggenggam tangan Pipi dengan erat. Sudah semalaman dia tidak tidur. Kantuk yang menyerang membuat Mimi sesekali tertidur. Pipi di hadapannya tetap belum menunjukan tanda akan bangun. Suasana begitu sepi, sunyi, senyap. Hanya terdengar tetes-tetes infus yang mengalir ke tangan Pipi. Rasa kantuk yang terus menyerang, membuat Mimi tidak tahan lagi. Dia tertidur. Perlahan Mimi terbangun lagi karena sesuatu. Susuatu yang dengan lemah bergerak dari genggaman tangannya.
"Pi...!"
"Mi, Mimi ngantuk ya! Maafin Pipi ya! Mimi naik sini aja, bobok di sebelah Pipi."
Mimi langsung menuruti perintah Pipi. Bukan apa-apa. Hanya saja lelah dan mengantuk yang dipikirkannya saat itu. Mungkin juga ada hal lain. Rindu kepada Pipi yang tidak bangun semalaman. Mimi sangat khawatir. Terbaring lemah dan tidak bergerak. Membuat Mimi takut. Pipi tak pernah sakit sampai seperti ini sebelumnya. Tapi kata dokter Pipi tidak apa-apa. Hanya kecapaian.
Setelah berada di sebelah Pipi, Mimi malah tidak bisa tidur. Aroma tubuh Pipi yang wangi itu juga sangat dirindukannya. Semalam saja tak merasakannya serasa hidup tanpa oksigen. Mati.
"Mi,... Mimi koq malah bengong siy? Bobok dong! Pipi nyanyiin ya!"
"Mimi bobok Oh Mimi bobok,
Kalo tidak bobok Pipi yang bobok,
Mimi bobok Oh Mimi bobok,
Kalo tidak bobok Pipi yang bobok,
Boboklah bobok Mimiku sayang,
Kalo tidak bobok Pipi yang bobok!"
Begitu terus berulang-ulang. Telapak tangan dari lengan yang digunakan Mimi sebagai bantal, mengelus-elus rambut Mimi. Perlahan, rasa kantuk kembali menyerang. Mimi tertidur, terlelap, dalam dekapan Pipi. Tidak lama kemudian, datanglah Pak RT dan istrinya menjenguk Pipi. Mereka terhenyak ketika melihat Mimi yang tidur di samping Pipi.
"Sstt!" Pipi meletakkan telunjuk kirinya di depan hidung.
"Assalamualaikum!" Kata Pak RT dan Istrinya.
"Waalaikumsalam!" Jawab Pipi.
"Gimana Pak Erdi, sudah sehat?"
"Udah mendingan, Pak!"
"Ini, Bu Annisa kok bisa tidur di situ?"
"Iya, Pak! Mimi kecapaian. Tadi tertidur di situ. Terus saya suruh naik. Kasihan dia, Pak!"
Sekitar setengah jam kemudian, Pak RT dan istrinya pamit. Pipi tidak lupa mengucapkan terimakasih atas kedatangan mereka.

***

Tiga hari di Rumah Sakit, Pipi sudah diizinkan pulang. Dia dan Mimi berjalan menenteng tas menuju parkiran. Di dalam mobil, Pipi tidak langsung menancap gas. Dia menggenggam erat tangan Mimi dan menciumnya. Tak lupa meraba perut istrinya. Calon bayinya sudah tiga bulan tinggal di rahim Mimi. Pernikahan mereka memang tidak disetujui oleh para orang tua. Tapi mereka telah membuktikan bahwa tanpa restu pun mereka dapat hidup sejahtera dan bahagia.
"Pi, jangan sakit lagi ya!"
"Janji! Pipi sayang Mimi!"
"Mimi juga sayang Pipi."
Mereka melesat menelusuri jalan. Udara luar yang sangat bebas. Itulah yang sangat dirindukan Pipi. Kebahagiaan rumah tangganya yang sudah dibina selama satu setengah tahun, adalah hal terbesar yang pernah di dapat oleh mereka. Mereka berharap hal itu akan berlangsung selamanya. Dan orang tua mereka akan berumah pikiran.

~~~

Jumat, 28 November 2008

Mr. X

Langkah kakiku semakin cepat menelusuri jalanan. Sesekali tanganku menarik tas sampingku yang melorot. Lelaki di seberang jalan itu tetap berteriak, "Lily, Lily!". Siapa gerangan wanita yang bernama sama denganku itu? Dia membuatku tertipu berulang-ulang karena aku menengok ketika lelaki itu memanggil namanya. Sesekali aku benar-benar berniat melihat lelaki itu. Wajahnya tampak bingung. Dia tetap berteriak memanggil nama yang sama. Tubuhnya tinggi, dibalut setelan jas dan kawan-kawan.
Langkahku semakin cepat. Aku tidak mau ketinggalan bus, yang akan membuatku pulang semakin telat. Atau Ibu akan memasang wajah udang rebusnya ketika aku sampai rumah. Aku sangat mengerti kenapa Dia bersikap seperti itu. Dia adalah orang tua tunggal. Juga karena hanya aku, anaknya, sekaligus satu-satunya teman hidup baginya. Tapi kata-katanya yang sangat pedas itu yang sering membuat telingaku bengkak. Tiba-tiba ada yang menarik pundaku dari belakang. Tubuhku berbalik ke arahnya.
"Lily!" Kata orang itu. Nafasnya terengah-engah. Dia, lelaki di seberang jalan tadi.
"Hai!" Sapaku. "Apa aku mengenalmu?"
"Kau Lilyana Carpenter, bukan?"
"Aku Lilyana Cruise."
"Oh, maaf. Siapapun namamu, aku telah lama mencarimu. Maukah kau berbicara denganku sebentar?"
"Maaf, Tuan! Ini sudah terlalu sore. Aku harus segera pulang. Ibuku akan khawatir. Bagaimana kalau besok saja? Setiap hari aku lewat sini."
"Baiklah. Sampai jumpa besok!"
Lelaki itu berlari menjauh dariku. Semakin kulihat semakin kecil tubuhnya. Sampai di depan perusahaan di ujung jalan, dia berhenti. Melambaikan tangan padaku dan tersenyum. Kemudian dia masuk ke dalam perusahaan itu.

***

Keesokan harinya, lelaki itu benar-benar menungguku di tempat kemarin. Tetap rapi dengan setelan jas. Pepohonan, angin semilir, serta bunga-bunga yang mekar, menghiasi indahnya musin semi kota ini. Tentunya juga menambah indah percakapan antara kami. Dia jauh lebih dewasa dariku. Aku baru kelas sebelas. Sedangkan umurnya yang sudah tiga puluh tahun, lebih pantas menjadi Omku. Kami ngobrol banyak sekali sore ini. Bahkan dia mengantarku pulang dengan mobilnya.
Waktu terus berjalan. Dari detik berubah menjadi menit, jam dan seterusnya. Hari-haripun berganti. Musim semi telah berganti menjadi musim panas. Aku dan lelaki itu selalu bertemu setiap sore. Ngobrol. Kami punya tempat makan favorit. Restoran seafood di pinggiran kota. Nyaman sekali menghadap laut. Selain dapat menikmati makanan laut yang masih segar, juga dapat menikmati hembusan angin laut. Sayang, lelaki itu belum juga mengatakan identitasnya. Namanya saja aku belum tahu. Aku selalu memanggilnya dengan nama 'Mr. X'.
Suatu sore di restoran seafood, kami memutuskan untuk tidak pulang dulu setelah makan. Kami berdiri di pagar batas restoran. Menghadap luasnya lautan. Menunggu indahnya matahari terbenam. Entah mengapa sore itu kami tidak menemukan bahan obrolan yang cocok. Aku tidak tahu siapa dulu yang membicarakan tentang hal ini. Yang jelas ini adalah topik pembicaraan yang paling aku benci.
"Aku takut, Tuan!"
"Kenapa?"
"Aku juga tidak tahu. Yang jelas, aku sangat takut jika harus membicarakan kematian."
"Hey, dengar! Hidup ini memang indah. Jadi nikmati saja. Tapi juga jangan terlalu hanyut dalam kenikmatan hidup. Kau tahu, jarak antara kematian dan kehidupan itu sangatlah tipis."
"Maksudnya?"
"Menurutku, hidup dan mati itu sama saja. Sama-sama sebuah proses untuk mencapai suatu kekekalan. Dimana, datangnya kekekalan itu, kita belum tahu."
Aku hanya diam mendengarkannya. Jika dipikir-pikir, itu memang benar. Hidup adalah proses. Kehidupan setelah mati pun juga sebuah proses. Proses untuk menjalani kehidupan yang kekal. Entah kapan datangnya kekekalan itu. Yang jelas, sekarang ini kita sedang menjalani... Apa ya? Mungkin bisa disebut audisi. Siapa yang bisa menjalani proses dengan baik dan benar, maka dialah yang akan mendapatkan kemuliaan di kehidupan kekalnya.
Ketika aku malingkan muka dari lautan ke arah Mr. X, betapa kagetnya aku. Tidak ada siapapun di sampingku. Indahnya matahari terbenam, hanya kunikmati sendiri. Kemana perginya orang itu?

***

Setelah sore itu berakhir, aku tak pernah melihat Mr. X lagi. Setiap sore, selalu kutunggu dia di tempat pertama kali kita bertemu. Tetapi dia tak kunjung datang. Ponselnya pun tak bisa dihubungi. Smsku tidak pernah dibalas. Sampai pada suatu hari, aku memutuskan untuk datang ke perusahaan di ujung jalan. Sebenarnya aku sedikit ragu. Tapi mau bagaimana lagi? Aku harus pergi ke sana.
Di depan perusahaan itu, seorang security melarangku masuk. "Kau siapa?" Tanyanya.
"Maaf, Tuan! Tapi aku mencari seseorang."
"Siapa? Siapa nama orang yang kau cari."
Deg. Rasanya jantungku sudah berhenti berdetak. Aku lansung menerjang pintu, berusaha membukanya. Tapi security yang bernama James Shoemaker itu, menghadangku. "Jangan coba-coba, Nona!"
"Tapi aku harus bertemu dengannya?"
"Siapa nama orang itu?"
"Aku tidak tahu namanya. Tapi kami sudah sangat akrab. Lelaki itu tinggi, rapi dan tampan."
"Oo... Mungkin yang kau maksud adalah Tuan McAdam. Tapi maaf, Dia sedang ada rapat. Kalau mau tunggu saja, atau tinggalkan pesan."
"Baik. Sampaikan padanya, bahwa Lilyana mencarinya. Kutunggu besok sore di restoran seafood, OK!"
"Baik akan kusampaikan."
"Terimakasih!"

***

Sore di restoran seafood. Aku menunggu Mr. X ku. Dia tidak pernah telat. Tapi kali ini sudah satu jam aku menunggunya. Apa security itu tidak menyampaikan pesanku. Atau begitu sibuknya Mr. X sehingga tidak ada waktu untuk menemuiku. Tapi tidak mungkin. Mr. X bukan orang seperti itu. Setelah hampir satu setengah jam, akhirnya dia datang. Seperti biasa dengan setelan jas yang rapi.
"Lilyana?"
Aku bingung, dia itu bertanya atau menyapa? Tapi untuk apa dia bertanya namaku. Aku langsung berdiri dan tersenyum padanya. Kemudian kami duduk berhadapan. "Kemana saja kau, Tuan? Aku rindu padamu."
"Hmm... Maaf sebelumnya Nona! Tapi aku tidak tahu siapa kau. Begini saja, apa aku mengenalmu?"
"Jangan bercanda! Itu tidak lucu."
"Kau mengingatkanku pada seseorang. Bahkan nama kalian pun sama."
"Ini memang aku, Tuan. Lilyana Cruise. Baru berapa hari kita tidak bertemu, tapi kau sudah melupakan aku?"
"Tapi aku memang benar-benar tidak mengenalmu. Dan orang yang aku maksud bukan kau. Namanya Lilyana Carpenter. Kalian mirip sekali, seperti pinang dibelah dua."
Aku teringat ketika aku dan Mr. X pertama bertemu. Dia bertanya apalah namaku Lilyana Carpenter. Aku semakin tidak mengerti. Mungkin Mr. X baru megalami kecelakaan atau apa, yang membuatnya mengalami amnesia. "Aku tidak mengerti, Tuan!"
"Justru aku yang tidak mengerti!"
"Lalu bagaimana dengan hubungan kita selama ini?"
"Tunggu, apakah orang yang kau maksud itu punya tahi lalat di atas bibir?"
"Iya."
"Ini tidak mungkin! Eugene dudah meninggal 12 tahun yang lalu!"
"Aku tidak mengerti."
Mr. X mengeluarkan selembar foto dari dompetnya. Ada dua Mr. X di foto itu. Di tengah-tengah mereka ada seorang gadis yang wajahnya sangat familiar dengan mataku. Gadis itu,... Aku sendiri?
"Dua belas tahun lalu, ketika aku, Eugene dan Lilyana masih kelas sebelas, kami mengadakan perjalanan dengan mobil bertiga. Eugene yang menyetir. Kejadiannya begitu cepat. Kami mengalami kecelakaan. Mobil kami masuk ke dalam laut yang bersebelahan dengan restoran ini. Sebenarnya aku tidak mau datang ke sini lagi. Tapi setelah mendengar namamu Lilyana dan restoran seafood, hatiku berkata, aku harus datang. "
"Mayat Lilyana tidak ditemukan. Diduga masuk ke dalam palung sehingga tubuhnya terlempar entah kemana. Aku tidak apa-apa waktu itu. Tapi Eugene sekarat. Dia merasa sangat bersalah padaku dan Lilyana. Bahkan disaat terakhir hidupnya, dia masih menyalahkan dirinya sendiri."
Aku tak bisa membendung peluh yang berdesak-desakkan ingin keluar dari mataku. Nafasku sesak. Tidak bisa menahan tangis. "Jadi maksudmu, yang setiap hari kutemui itu, adalah Eugene?"
"Iya. Eugene McAdam. Saudara kembarku."

Lelaki itu berdiri meninggalkanku begitu saja tanpa pamit. Di luar sana sudah ada seorang wanita cantik yang menunggu. Kubiarkan mereka berlalu dari hadapanku. Mataku tetuju pada laut di sana. Aku melihat seorang wanita yang mirip sekali denganku. Mengambang di atas lautan bersama seorang lelaki. Lelaki itu, Mr. X ku. Arwah Eugene McAdam. Mereka tersenyum menatapku.

Tangisanku meledak-ledak di dalam restoran ini. Tidak peduli pemikiran orang terhadapku. Perasaanku tidak karuan, antara sedih, takut, patah hati, dan banyak lagi. Apa maksud dari semua ini?

~~~